Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mengenal Usmar Ismail, Bapak Perfilman Indonesia

Penulis : Ahmad Haetami
Editor : Adelia Rahmawati

                  Potret Usmar Ismail (Antaranews.com)

Jakarta - Seabad lalu, 20 Maret 1921 Bapak Perfilman Indonesia Usmar Ismail lahir di Bukittinggi,
Sumatera Barat. Ia adalah anak bungsu dari bangsawan Minang, Ismail Datuk Manggung dan Fatimah Zahra. Usmar dididik dengan mengutamakan bahasa Melayu tinggi dan darah sastrawan mengalir pada dirinya.

Memulai pendidikan di HIS, MULO-B, AMS-A II. Ia menunjukkan kecintaannya pada film
dengan sering ke bioskop meski dilarang ayahnya. Hingga Usmar benar-benar lulus dari Jurusan Film di University of California in Los Angles (UCLA).

Tahun 1943, Usmar mendirikan kelompok sandiwara “Maya” bersama El Hakim, Rosihan Anwar, Cornel Simanjuntak, dan HB Jassin. Maya menjadi tonggak lahirnya teater modern di Indonesia.

Saat Jakarta kami oleh Sekutu pada September 1945, Usmar dan kawan-kawannya mengungsi ke Yogyakarta. Ia kemudian melebarkan sayapnya menjadi seorang jurnalis dan memimpin harian Patriot dan majalah Arena. Aktivitas ini yang mengantarkan Usmar menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 1946-1947.

Pada tahun 1948, Usmar kemudian menjadi jurnalis Antara dan sempat dijebloskan ke penjara Cipinang. Saat di penjara, ia sambil membantu Andjar Asmara mengerjakan film di perusahaan produksi film “South Pacific Corporation” milik Belanda.

Ia berhasil merilis tiga film, yaitu Harta Karun, Si Bachil, dan Tjitra dalam kurun waktu hanya
satu tahun. Namun, ketiga-tiganya tiada yang memuaskan hati Usmar karena ia merasa ada
pengekangan daya kreativitasnya. Ia dibebaskan saat tercapai persetujuan Roem-Royen pada Mei 1949 dan memulai di bidang perfilman.

30 Maret 1950, Usmar Ismail mendirikan Pusat Film Nasional Indonesia dan memulai
pengambilan gambar film “Darah dan Doa”. Darah dan Doa jadi film pertama yang
keseluruhannya dikerjakan oleh anak bangsa. Kini 30 Maret selalu diperingati sebagai Hari Perfilm Indonesia.

Meskipun Darah dan Doa disambut dengan baik dan sempat ditayangkan di Istana Presiden. Perilisan film “Darah dan Doa” yang berkisah mengenai long march Divisi Siliwangi tersebut tidak berjalan mulus karena otoritas militer sempat melarang peredarannya. 

Darah dan Doa dianggap mengancam wibawa tentara. Namun, Usmar Ismail tak gentar dan tetap membuat film.

Filmnya Usmar Ismail kebanyakan berbicara mengenai perjuangan bersenjata. Pengarsipan karya filmnya kini bisa dibilang sudah cukup baik. Seperti filmnya yang berjudul “Lewat Djam Malam” yang kini telah direstorasi dan tersedia di Criterion Collection, sebuah perusahaan yang mendistribusi film-film klasik yang dianggap sebagai karya penting dalam sejarah sinema.

Karya agung Usmar Ismail lainnya yang sudah direstorasi adalah Tiga Dara. Film yang sukses besar secara komersil tetapi Usmar sendiri malu telah membuat film itu karena tidak sesuai dengan idealismenya.

Perjalanan kariernya tak selalu mulus. Pada tahum 1960, kondisi keuangan Perfini tidak keruan dan Usmar terpaksa harus menutup studio Perfini di Mampang demi membayar hutang.

Karier Usmar kian mengkhawatirkan ketika ia dituduh PKI dan antek Amerika. Usmar Ismail yang pernah belajar film di Hollywood menjadi sasaran empuk. Film Tiga Dara diboikot hanya karena mengambil ilham dari Hollywood.

Situasi ini bertepatan dengan sikap Usmar yang fungsi sensor film dalam negeri yang seolah-olah polisi susila. Tuduhan tersebut membuat Usmar, Djamaludin Malik, dan Asrul Sani mendirikan Lesbumi. Lembaga seniman budayawan yang berafiliasi dengan Partai NU.

Usmair Ismail meninggal dunia pada 2 Januari 1971. Semasa hidupnya, ia telah menelurkan lebih dari 30 film dengan beragam genre. Film Ananda (1970) menjadi film terakhirnya.

Hingga kini, nama Usmar Ismail selalu disebut jika membicarakan film Indonesia. Seperti kutipan sahabatnya Asrul Sani dalam bukunya yang berjudul Usmar Ismail Mengupas Film, “Sejarah film Indonesia tidak bisa ditulis tanpa melibatkan sejarah hidup Usmar Ismail dan perkembangan perfilman tidak akan dapat dipahami tanpa pikiran-pikiran Usmar.”

Posting Komentar untuk "Mengenal Usmar Ismail, Bapak Perfilman Indonesia"